NEW MEDIA DI BIDANG BAHASA
Disusun oleh,
RIZKY SEPTIANTO
52409152
2IA18
UNIVERSITAS GUNADARMA
TEKNIK INFORMATIKA
2010
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………………….. i
Daftar Isi………………………………………………………………………………………………………. ii
BAB I Pendahuluan……………………………………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………………… ……….1-2
1.2 Perumusan Masalah dan Pemecahan Masalah……………………………………………………… 3
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………………………………… 4
1.4 Sistematika Penulisan …………………………………………………………………………………………5
BAB II ISI …………………………………………………………………………………………………….. 6
2.1 Pengenalan Sastra……………………………………………………………………………… ………….6-9
2.2 Media Sastra Mutakhir……………………………………………………………………………………… 9-13
BAB III Penutup …………………………………………………………………………………………. 14
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………………… 14
3.2 Saran………………………………………………………………………………………………… 14
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………………… 15
Lampiran ……………………………………………………………………………………………………. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak diantara kita yang bertanya-tanya tentang arti sebenarnya dari new media tersebut. Sedangkan New media, tidak ada istilah yang paling spesifik untuk menggambarkannya. Karena new media hanya dapat dilakukan dengan penjabaran secara umum. Yakni penggabungan dari media konvensional.
Kata media berasal dari bahasa latin yang memiliki arti sebagai perantara sebuah informasi dengan penerima informasi. Berarti New Media secara bahasa dapat berarti “perantara baru”. Akan tetapi apakah “perantara baru” tersebut? Saya akan menjelaskannya disini.
Istilah New Media sendiri baru muncul pada akhir abad 20 yang dipakai untuk menyebut sebuah media baru yang menggabungkan media-media konvensional dengan Internet. Mengapa Internet? Itu karena New Media memegang kemungkinan akses on-demmand untuk semua content kapan pun kita mau. Perbedaan New Media dengan Media konvensional Sebenarnya bukan dilihat dari digitalisasi konten media ke bit, akan tetapi kehidupan yang dinamis dari isi New Media itu sendiri dan hubungan interaktif dengan konsumen media. Kehidupan yang dinamis ini bergerak, bernapas dan mengalir kegembiraan secara real time. Dan satu lagi, New Media menjanjikan hal penting lainnya yaitu “demokratisasi” tentang penciptaan, penerbitan, distribusi dan konsumsi isi media.
Dengan begitu, siaran televisi dengan definisi tinggi yang ditonton melalui Digital TV Plasma masih merupakan contoh dari Media konvensional. Sementara Kertas poster “analog” dari sebuah band lokal yang berisi alamat web dimana para
fans dapat menemukan informasi dan mendownload musik mereka adalah sebuah contoh komunikasi dari New Media.
Sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai New Media mempunyai ciri digital, sering mempunyai karakteristik dimanipulasi, melalui jaringan, padat, kompresibel, interaktif dan tidak memihak. Beberapa contoh diantaranya mungkin Internet, website, komputer multimedia, permainan komputer, CD-ROM, dan DVD. New Media bukanlah program televisi, film, majalah, buku, atau publikasi berbasis kertas – kecuali mereka mengandung teknologi yang memungkinkan interaktivitas digital, seperti grafis yang berisi tag-link web.
Sebelum lanjut membahas secara detail mengenai pembahasan yang saya angkat, maka terlebih dahulu saya akan memberikan gambaran tentang pengertian sastra. Nah, Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah “Indonesia” sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayuyang tinggal di Singapura.
2
Ketika kita membahas masalah perkembangan sastra Indonesia, bayangan kita seringkali tertuju pada angkatan-angkatan sastra Indonesia, seperti angkatan 1920-an atau disebut juga angkatan Balai Pustaka; angkatan 1933, yang disebut juga angkatan Pujangga Baru; angkatan 1945 yang disebut angkatan Pendobrak, dan angkatan 1966 atau disebut juga angkatan Orde Lama.
Angkatan 1920-an identik dengan novel Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya; angkatan 1933 dengan tokoh sastrawannya Sutan Takdir Alisahbana (dalam bidang prosa) dan Amir Hamzah (bidang puisi). Angkatan 1945 dengan tokoh sentralnya, Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang sangat monumental berjudul Aku. Angkatan 1966 dengan tokoh sentralnya Dr. Taufik Ismail dengan kumpulan puisinya berjudul Tirani dan Benteng. Lantas bagaimana dengan angkatan setelah angkatan 1966? Apakah masih ada angkatan selanjutnya? Coba kita lirik tahun ini, era yang telah dikuasai oleh kecanggihan dan kehebatan teknologi. Lantas, bagaimana sinkronisasi antara perkembangan teknologi informasi dan perkembangan bahasa dan sastra Indonesia?
Media cetak memberi porsi untuk sastra dalam tempat terbatas. Itu yang membuat pegiat sastra menjadi gerah karena kurangnya lahan untuk memublikasikan karyanya. Dewasa ini telah terjadi perubahan yang signifikan dalam peradaban masyarakat di dunia. Era teknologi (internet) setidaknya telah menggeser cara pandang dan sikap masyarakat tentang makna pendokumentasian sebuah karya sastra. Indikasinya adalah bertumbuh suburnya dinamika kesusasteraan di berbagai situs pertemanan dan buku digital.
1.2 Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
Dari sekian permasalahan yang ada tidak mungkin penulis dapat membahasnya secara keseluruhan, karena mengingat kemampuan yang ada yang dimiliki penulis sangat terbatas. Maka penulis perlu memberikan batasan-batasan masalah. Pembatasan masalah diperlukan untuk memperjelas permasalahan yang ingin dipecahkan oleh karena itu, penulis memberikan batasan sebagai berikut :
Sejauh mana perkembangan New Media di bidang bahasa/sastra dan pemanfaatannya pada masa kini.
1.3 Tujuan Penulisan
Penyusunan makalah ini bermaksud untuk memberikan pengetahuan kepada kita tentang perkembangan New Media dibidang bahasa/sastra dan diharapkan nantinya bermanfaat bagi para pembaca.
1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan tugas ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan penulisan, serta sistematika penulisan.
BAB II ISI
Dalam bab ini dibahas mengenai perkembangan New Media di bidang bahasa/sastra dan penerapannya dalam kehidupan sehari – hari.
BAB III PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran
BAB II
ISI
2.1 Pengenalan sastra
Meneropong sastra Indonesia mutakhir, tidak cukup hanya berbicara perkembangan satu dua tahun terakhir. Walaupun mungkin selama setahun dua tahun terakhir ada suatu perkembangan hebat yang terjadi. Fenomena komunitas sastra, misalnya, sebenarnya bukan merupakan hal yang baru di jagad sastra Indonesia. Lebih dari sepuluh tahun lalu Komunitas Sastra Indonesia sudah mengidentifikasi berbagai komunitas sastra (seni dan budaya) yang ada di tanah air. Komunitas Sastra Indonesia memberikan definisi komunitas sastra sebagai:
“kelompok-kelompok yang secara sukarela didirikan oleh penggiat dan pengayom sastra atas inisiatif sendiri, yang ditujukan bukan terutama untuk mencari untung (nirlaba), melainkan untuk tujuan-tujuan lain yang sesuai dengan minat dan perhatian kelompok atau untuk kepentingan umum.” (Iwan Gunadi, 2006)
Dengan melihat definisi tersebut, jika kita tengok dari perjalanan sastra
Indonesia baik yang tercatat maupun yang tidak sebenarnya komunitas-komunitas sastra ini sudah berkembang sejak dahulu, walupun mungkin tidak secara resmi menggunakan kata-kata “komunitas.” Pada tahun 1940-an Chairil Anwar dkk berinteraksi dalam Gelanggang Seniman Merdeka, yang melahirkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Pada 1950-1960-an, kita juga bisa menemui Lekra, Lesbumi, yang walaupun berpatron pada partai atau ormas, bisa kita sebut sebagai komunitas juga. Kelompok diskusi Wiratmo Soekito yang diikuti oleh Goenawan Mohamad dkk merupakan sebuah komunitas, yang pada akhirnya melahirkan Manifesto Kebudayaan.
Dari beberapa contoh yang kebetulan tercatat dalam sejarah sastra Indonesia itu, dapat dikatakan bahwa komunitas sastra apapun namanya sudah berkembang sejak dahulu.
Aktivitas menulis karya sastra merupakan hal yang sangat individual. Pengakuan atas karya sastra pada umumnya merupakan pengakuan terhadap karya individu penulis. Sebuah cerpen, puisi atau novel jarang sekali dibuat oleh lebih dari satu orang (jarang, bukan berarti tidak ada). Maka dimana peran atau pengaruh komunitas dalam penulisan karya sastra, jika menulis adalah aktivitas individu?
Pergesekan pemikiran dalam komunitas memberikan wawasan bagi para penulis yang terlibat di dalamnya. Kecakapan-kecakapan menulis dapat ditularkan dengan saling belajar pada rekan satu komunitas. Inilah peran dari adanya sebuah komunitas, saling belajar dan saling berbagi.
Komunitas-komunitas sastra yang ada memiliki ciri yang hampir sama, yaitu: komunitas itu akan terus hidup jika ada individu yang sukarela menggerakkan komunitasnya. Paling tidak ada satu sampai tiga orang yang memiliki semangat untuk menjalankan aktivitas komunitas, maka komunitas itu akan berjalan.
Sekarang kita lihat fenomena apa yang membedakan komunitas sastra pada beberapa tahun terakhir dengan komunitas-komunitas sastra di tahun 90-an dan sebelumnya. Teknologi informasi membawa dampak perubahan terhadap pola interaksi di masyarakat. Pada akhir 90-an teknologi informasi berupa internet memberikan peluang kepada masayarakat luas untuk dapat berkumpul dalam suatu komunitas tanpa harus hadir secara fisik. Melalui jaringan internet, para peminat sastra membentuk komunitas yang melintasi batas geografis. Komunitas komunitas sastra di dunia maya mulai muncul sejak akhir tahun 90an melalui mailing list. Contoh: komunitas sastra melalui mailing list yang berdiri di akhir 90an adalah:
7
penyair@yahoogroups.com, puisikita@yahoogroups.com, gedongpuisi@yahoogroups.com, bungamatahari@yahoogroups.com, bumimanusia@yahoogroups.com, musyawarah_burung@yahoogroups.com, dan banyak mailing list lain yang menyusul di tahun 2000an, seperti sastra_pembebasan@yahoogroups.com dan apresiasi_sastra@yahoogroups.com.
Sejak munculnya istilah sastra cyber, lahir pula ‘penulis-penulis cyber’ di dunia maya. Coba saja telusuri dengan mesin pengunduh Google, dengan mudah ditemukan segala macam hal yang berkaitan dengan sastra, entah itu berupa puisi, cerpen atau esai. Fenomena sastra cyber juga semakin diperkuat dengan hadirnya situs-situs yang memberikan wadah untuk berekspresi secara cuma-cuma seperti Blogspot, WordPress, Friendster, dan Facebook.
Dan dalam waktu seketika dunia cyber pun melunturkan tembok anggapan bahwa sastra hanya milik orang-orang yang telah dibaptis sebagai sastrawan. Sastra pun menjelma dalam wujud yang lebih cair dan membumi. Maka tak heran dalam waktu singkat banyak orang dengan berbagai macam latar belakang, berbondong-bondong ambil andil, mulai dari mahasiswa, karyawan hingga pembantu rumah tangga.
Perkembangan sastra cyber yang begitu pesat melumat sekat-sekat batas. Tidak ada kasta, semuanya berada dalam satu ruang dan setara, tanpa embel-embel penulis ternama atau penulis pemula. Semuanya bebas menuangkan apa saja yang ada di kepalanya, mulai dari kata-kata puitis hingga sumpah serapah. “Seseorang dengan mudah dapat mengakses penulis favoritnya dan bukan tidak mungkin penulis itu juga akan mampir ke blog dia,” kata cerpenis Eka Kurniawan kepada Jurnal Nasional, Rabu (4/2).
Eka mengatakan, kebebasan dan kesetaraan yang ditawarkan dunia cyber dapat menumbuhkan kepercayaan diri seseorang untuk menulis. Tentu saja hal tersebut ikut merangsang terciptanya budaya menulis di Indonesia.
8
Setelah menyulap website dan blog menjadi ruang pamer karya, kini ganti Facebook yang menjadi alternatif ‘ruang pajang karya.’ Selanjutnya, fenomena ini lebih booming dengan istilah ‘sastra Facebook’. Dalam situs jejaring sosial ini, tidak hanya penulis cyber yang ikut nampang. Penulis-penulis senior yang sudah memegang predikat penulis best seller pun tidak sungkan untuk memamerkan karya mereka.
2.2 Media Sastra Mutakhir
Gerakan Sastra Internet yang diusung pada akhir 90-an oleh cybersastra.net (Yayasan Multimedia Sastra) merupakan tonggak sejarah yang turut mewarnai perkembangan sastra di Indonesia. Banyak penulis sastra Indonesia saat ini merupakan penggiat sastra di internet, khususnya penulis-penulis yang pernah berinteraksi dengan cybersastra.net dan beberapa mailing list komuntas maya di atas.
Perkembangan sastra di internet saaat sangat luar biasa. Setelah cybersastra.net tidak aktif pada tahun 2005, banyak situs-situs sastra baru bermunculan seperti: fordisastra.com, kemudian.com, duniasastra.com, sastra-indonesia.com, mediasastra.com, jendelasastra.com,dan masih banyak lagi yang lain. Selain itu fasilitas gratis yang disediakan provider Twitter.com, Facebook.com, Multiply.com, Blogspot.com, WordPress.com menjadi media yang diminati beberapa tahun terakhir. Penulis sastra, baik yang terkenal maupun tidak, banyak menggunakan media-media tersebut.
Bahkan google pun mau ikut andil dalam dunia sastra digital. Google akan terlibat dalam proyek penelitian akademik yang bertujuan mendigitalkan semua karya sastra dari berbagai era dan belahan dunia.
9
Dalam blog Google Research, disebutkan bahwa Google siap mengucurkan dana hingga US$ 1 juta untuk 12 proyek di 15 universitas yang akan meneliti kaitan antara lokasi geografis dan karya sastra. Hasil penelitian ini nantinya akan ditampilkan melalui layanan Google Earth.
Dari proyek tersebut, salah satu di antaranya bernama Google Ancient Places. Proyek ini merupakan kolaborasi antara Universitas Terbuka di Inggris, Universitas Southampton, dan Universitas California di Berkeley. Lewat layanan Google Ancient Places, pengguna bisa mencari buku-buku yang berasal lokasi dan era tertentu, yang kemudian akan divisualisasikan pada Google Maps atau Google Earth.
Dikutip detikINET dari Guardian, Jumat (16/7/2010), para akademisi nantinya
dapat mengakses data yang dikumpulkan dari berbagai macam sastra, termasuk dari media cetak dan juga sumber-sumber langka yang biasanya hanya dimiliki oleh sebagian kecil institusi.
Para peneliti mengatakan, proyek ini akan membantu menumbuhkan ketertarikan pada sejarah, sastra kuno dan arkeologi, serta pengembangan berbagai alat dan metode penelitian baru.
Dari sekian banyak situs jaringan sosial, yang saya amati dan sekaligus menjalani adalah situs Facebook.com dan Twitter.com. Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya dengan adanya kedua situs tersebut mendorong seseorang untuk kembali menulis, sebebas-bebasnya semau penulis. Saya akan berikan gambaran keduanya. Facebook memberikan ruang untuk membuat catatan yang lebih besar, selain sekedar membuat status yang 240 karakter. Twitter hanya memberikan ruang 140 karakter. Terlalu sering mengupdate status di facebook bisa dimarahi para friends. Sedangkan di twitter semakin sering update semakin disuka.
10
Menulis karya di Facebook bisa panjang lebar. Jika di twitter harus dipotong-potong kalau karya puisi atau cerpennya panjang. Friends di facebook terbatas, sedangkan di Twitter bisa sebanyak-banyaknya. Di twitter ada mentions, di facebook ada tag. Sama-sama menarik perhatian rekan untuk membacanya. Mana yang lebih disukai? Bagi yang suka online terus menerus Twitter mungkin lebih disuka. Berkicau sepuasnya. Membaca Time line terus menerus. Bagi yang suka memajang foto, membuat catatan panjang, facebook mungkin lebih disukainya. Mengomentari catatan rekan dan tentu saja chat.Bagi seorang penulis yang akan memasarkan bukunya, mana yang lebih cocok? Twitter atau Facebook? Selama ini saya belum pernah menemukan iklan di twitter seperti di facebook. Kecuali dari teman yang kita follow, sesekali. Di facebook, seseorang bisa memasang foto produk yang akan dia jual. Kadang-kadang memaksa friends untuk melihatnya dengan men-tag. Di twitter tidak bisa memasang foto dan tulisan panjang. Maka follower diarahkan ke url di situs lain.
Karya-karya yang muncul di Twitter, Facebook, blog, milist sangat mungkin muncul kembali di Koran, majalah dan buku. Buku serial antologi puisi “Dian Sastro for Presiden” (3 jilid) juga merupakan hasil interaksi dari berbagai mailing list. Buku untuk munir, peringatan gempa di Yogyakarta dan Padang, tsunami Aceh merupakan hasil interaksi dari para penulis di internet. Buku-buku yang lain, sangat mungkin merupakan hasil dari karya-karya yang muncul di fesbuk, twitter, milist dan blog.
Jika ada pernyataan apakah ruang maya ini menambah produktivitas, intensitas, dan kualitas karya? Soal produktivitas, intensitas, dan kualitas karya tentu saja bergantung siapa personilnya. Ada lumayan banyak yang serius berkarya, menjaga produktivitas, memupuk intensitasnya, serta meningkatkan karyanya. Tetapi jika dikaitkan dengan ketersediaan data, mungkin sebatas 10% saja. Selebihnya, lebih banyak bermain-main keriangan penuh keisengan di ruang maya ini.
11
Banyak juga pihak yang melihat miring fenomena itu. “Ke-tanpa batas-an” ruang yang disuguhkan facebook, justru menjadi titik lemah. Sehingga memberikan peluang bagi pesatnya pertumbuhan sastra yang tidak mengacu pada kualitas. Sehingga jika dibiarkan menjadi pola yang mapan, bisa jadi akan meruntuhkan pondasi akademis kesusasteraan. Runtuhlah juga nilai-nilai, definisi, dan kategorisasi yang telah ada. Di facebook, orang bisa begitu mudah disebut sastrawan karena ia rajin menulis di facebook. Orang bisa membukukan karya karena punya uang, orang bisa diorbitkan karena memiliki jaringan “pragmatis”.
Seperti yang lainnya pasti ada kekurangan dan kelebihan dari suatu hal dalam hal ini Secara logika maupun estetika sastra cyber memang berbeda dengan sastra di media lain. Misalnya di media cetak sebuah karya dinilai terlebih dulu baru sampai ke pembaca, sementara pada media cyber karya sampai dulu ke pembaca baru kemudian dinilai.
Logika dalam dunia cyber menciptakan keleluasaan lebih bagi para pembaca. Jika di media cetak selera pembaca ditentukan oleh redaktur (karena redaktur yang memutuskan karya apa yang dimuat minggu ini), maka pada media cyber pembaca bebas menentukan seleranya. Tidak hanya kebebasan atau kesetaraan, dunia cyber juga menawarkan kelebihan berupa jangkauan yang sangat luas sehingga dapat ikut membantu memperkenalkan sastra Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Jika melalui koran, sebuah karya hanya bisa diakses sampai negara tetangga atau negara yang terdapat kedutaan Indonesia, maka untuk media cyber jarak bukan sebuah masalah.
Lebih jauh maraknya tulisan sastra di internet juga memberikan dampak positif bagi otonomi konten dan mengurangi ketergantungan terhadap konten berbahasa asing. Tak dapat dipungkiri kelebihan-kelebihan tersebut yang kemudian memikat para penggiat sastra baik yang senior maupun pemula untuk menggunakan sebagai media ekspresi.
12
Sekarang tinggal bagaimana dinamika yang ada itu digiring pada kualitas. Maka mau tidak mau, para akademisi atau sastrawan harus ada yang ikut aktif di jejaring maya tersebut. Membangun komunikasi akademis yang sadar ruang dan sadar nilai. Menggiring pengguna facebook untuk menulis karya yang bagus, dan tentu saja agar mereka tidak melupakan media massa, yang menggunakan proses seleksi yang ketat. Artinya, kemajuan teknologi mesti diapresiasi dengan bijak. Tidak dengan serta merta, atau apriori. Apalagi seiring menguatnya wacana “green life style”, di mana segala perilaku manusia lebih diarahkan pada penghormatan terhadap lingkungan, salah satunya dengan munculnya elektronic book (e-book). Buku digital ini dianggap lebih ramah lingkungan, lebih murah, dan praktis. Seratus tahun ke depan, bukan tidak mungkin kita tak lagi akrab dengan peradaban kertas.
Facebook adalah representasi peradaban teknologi, facebook akan menyesatkan bila tidak disikapi. Salah satu cara untuk menyikapi facebook adalah dengan memanfaatkannya. Facebook menjadi alternatif sarana pembelajaran sastra. Facebook digauli untuk kemajuan, kebaikan, dan perkembangan dunia kesusasteraan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Karya tulis ini menerangkan tentang pengaruh dan pemanfaatan jejaring sosial di bidang bahasa/sastra. Karya sastra di jejaring sosial sekarang menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Trend ini berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
3.2 Saran
Saya menyarankan agar, anda bisa memanfaatkan fasilitas jejaring sosial yang ada dengan sebaik-baiknya dan tetaplah maju dan terus menulis untuk kepuasan batin dan mengasah kepekaan bahasa dalam situasi yang berbeda-beda. Maka dengan demikian kita telah membangun dunia sastra kita sendiri yang lebih independet. Jangan tergantung pada penilaian-penilain yang tidak bisa kita jamin kemampuannya dalam menilai sebuah karya. Demikian makalah ini saya susun, saya mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman sekalian demi kesempurnaan makalah ini.